Senin, 16 Januari 2017

Yang bernama POLITIK dengan INTRIK-INTRIK(-nya)

Ini bukan kritik
Ataupun intrik
Apalagi menyindir para petinggi politik
Kata-kata ini tercipta karena banyak cerita di Negeri yang sudah pelik
Sana sini kicau saling usik
Sepertinya sudah tak ada lagi perbuatan-perbuatan asik
Semuanya terlihat sangat menjijik(-kan)
Merajanya kekerasan fisik
Tak adalagi ruang publik
Untuk sekedar meluapkan lirik-lirik
Tentang kehidupan yang sudah berpolemik
Alih-alih bekerja secara apik
Namun, siapa tahu hati manusia yang suka berbalik
Belum lagi dengan pandangan-pandangan antik
Yang menurut mereka itu adalah pemikiran-pemikiran unik
Berbau aromatik
cantik
Adalagi tentang taktik
Seoalah mereka adalah profesional atletik
Terlihat baik

Zaman ini selalu saja berisik
Sampai-sampai mencekik
Mereka seperti bersisik
Di balik hingar bingar bisik(-an)
Untuk menganyam bambu-bambu menjadi bilik-bilik
Rakyat menjadi tercabik-cabik
Karena perbuatan atasan yang cerdik
Diatas kertas mencarik-carik

Sekali lagi, ini bukan kritik
Apalagi intrik
Hanya sekedar bercerita menjadi ciamik
Untuk memastikan diri tidak terculik
Oleh politik-politik
Menjadi satu cuplik(-an)
Harapan yang delik

Oh, hari yang selalu berdetik
Bersahabatlah, jangan menjadi jentik
Untuk hinggap pada jari-jari lentik
Titik

Ingat, aku sedang menggelitik
Diri sendiri ini yang suka gerak gerik
Agar semua menjadi baik-baik (saja)




*Noted : Puisi untuk yang bernama politik*

Selasa, 10 Januari 2017

Lampu-lampu berbicara

Lampu-lampu berbicara
Pada satu rindu yang tak pernah sampai di kota (-itu)
Sesekali terselip pertanyaan "mengapa?"
Namun jawab tak pernah berkata
Gelora lampu-lampu meyala
Menyakinkan bahwa
Cinta tak pernah salah, katanya

Cinta dan kopi hitamnya
Menyeduh malam yang terjaga
Menuang jerit-jerit kata

Ah, ini hanya cerita
Tentang insan yang berdua
Membungkus cedera cinta
Katanya

Tersibaklah, angin-angin

Tersibaklah angin-angin malam
Dan bernyanyian jua sabda alam
Masih saja berlalu-lalang anak-anak Hawa dan Adam
Pulang dari hiruk-pikuk kota yang tak pernah kelam
Mencari tugas untuk diselam
Tiba-tiba malam (berseru)
Tak akan ada jalan yang seram
Selagi masih ada semangat yang tak pernah meram
Malam,
Katanya beri segala kisah hitam
Tapi nyatanya malam
Adalah magnet bagi para si tukang sulam
Menyulam
Puisi-puisi yang belum tertanam

Dan, selamat malam

Rintik mengembun

Pada nyanyian hujan yang mulai turun
Terdengar bisikan rintik mengembun
Langit-langit menjadi hitam bersusun
Awan-awan menjadi seperti gurun-gurun
Maka, tertinggallah aku bersama racun-racun
Yang menghimpun
Terikat pada bangun-bangun
Kata yang terlantun
Hati, semoga kau selalu santun

Tersebutlah fajar

Tersebutlah fajar
Pada rongga-rongga pagi yang sabar
Dan larik-larik tentang kamu selalu menyebar
Ke pucuk daun yang terlihat memudar
Aku, pagar-pagar
Yang tak pernah sama sekali kau pugar
Sesekali rumput-rumput liar
Menyentuh akar-akar
Yang sudah lama menyasar
Oh ya, aku sadar (sekarang)
Ini hanya hati yang terkoyak-koyak senar

Tersebutlah fajar
Temui aku saat kau benar-benar
Berbinar

Ada rindu

Ada rindu dan kamu yang jadi satu
Tapi waktu
Tak pernah berpihak padaku
Sampai semua menjadi kelu
Dan sekarang dia adalah tujuan utamamu
Ini bukan tentang siapa yang cepat untukmu
Tapi ini adalah yang tepat bagimu
Aku....
Sedang disiapkan untuk sabar menunggu
Hingga waktu benar-benar bisa bekerjasama denganku
Tuhan tak akan pernah salah masalah ruang itu
Pasti ada hikmahnya di balik semua yang berujung, kamu
Semoga rinduku (nanti)
Diridhoi selalu
Untuk kamu yang lain di satu waktu
Nanti, dan entah kapan pun itu
Rindu dan kamu
Bertemu
Dan, aku adalah tujuan utamamu

Turun hujan

Seketika turun hujan
Sepertinya ia tau tentang hati yang terlewatkan
Ku tadahkan
Wajah pada langit yang kegelapan
Ku rasakan
Titik-titik butiran(-nya)
Kemudian ia menjelaskan semua yang bernama keikhlasan
Karena semua memang tak ada kesempurnaan
Mungkin bukan dia bahu untuk disandarkan
Nanti, akan datang harapan
Yang tak pernah tersiakan
Apalagi terlewatkan (lagi)